Saat aku merasa tidak ingin mengatakan apa yang sedang kurasakan kepada manusia lain sebagai perantaranya. Saat itu, aku memilih menjadi silentium saja. Rasa-rasanya buku adalah pilihan tepat untuk melarikan diri tanpa harus banyak berucap. Tapi terkadang benda mati seperti buku pun bisa jauh memahamiku.
Buku bisa jadi teman sekaligus penasihat. Mengerti apa yang ku inginkan, tahu apa yang ku butuhkan. Tak perlu repot-repot merepetisi cerita yang ku punya. Hanya dengan menemukan. Membacanya pelan-pelan jika ada yang tidak kumengerti biasanya kucari sendiri. Seolah-olah ia mampu marasuki pikiranku menyuruhku agar tetap waras sekalipun dalam diam.
Belakangan ini aku mencoba menjauhkan diri dari social media. Cara ini terbukti ampuh membuat ku fokus merampungkan bacaan. Buku terakhir yang kubaca berjudul Filosofi Teras milik Henry Manampiring, yang dari awal babnya saja sudah membuat ku hanyut dalam ilustrasi cerita.
Seperti tenggelam dalam aksara. Padahal maksudnya aku butuh waktu untuk benar-benar paham. Karena ternyata ada banyak pemikiran yang belum pernah kutemukan, ada banyak pemahaman yang selalu bisa jadi bahan renungan.
Aku tidak ingin jadi spoiler bagaimana bahagia ala Stoa tercipta. Lalu, apa saja yang bisa di kendalikan dan tidak bisa di kendalikan manusia. Atau seperti apa cara memperaktikan Filosofi Teras itu. Tidak, aku tidak akan membahas buku itu disini.
Aku hanya ingin berterima-kasih kepada semua penulis-penulis hebat yang telah membuat karya mereka terkenang dalam benak. Semakin dewasa jadi semakin butuh banyak membaca. Bukan lagi mencari buku yang sifatnya hanya hiburan semata tapi juga harus memiliki nilai dan manfaat yang luas.
Bukankah buku-buku seperti itu sudah seperti layaknya cokelat? Menenangkan dan tidak ingin jika hanya dapat sedikit.
© ardidapb
Comments
Post a Comment